Politik Mutasi Bupati Status Quo
Penataan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mutasi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) sejatinya merupakan instrumen yang penting dalam melakukan upaya pengelolaan manajemen terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan menjunjung tinggi kompetensi, profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas.
Namun dalam pelaksanaannya mutasi aparatur sipil negara yang merupakan suatu dinamika manajemen kepegawaian pada pemerintah daerah telah menimbulkan fenomena profesional maupun politis. Fenomena politis yang dimaksud yaitu pejabat politik dalam hal ini Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar yang mencoba melakukan kontrol atas birokrasi.
Seperti pada mutasi perdana oleh Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar, yang sudah mengusulkan dan tinggal menunggu turunnya persetujuan dari Kemendagri terhadap 30 orang pejabat struktural Eselon 2 Pemda Kuningan (dua jabatan lainnya dikosongkan), di awal masa jabatannya sebagai kepala daerah. Pelaksanaan mutasi yang akan dilakukan pada awal bulan Juni besok oleh Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar, 3 bulan setelah dirinya dilantik atau bertepatan dengan masa 100 hari kerja pemerintahannya, masih menunjukkan terjadinya politisasi birokrasi yang sarat dengan kepentingan politik.
Ini bisa dilihat dari susunan draft rencana mutasi bocor yang kami dapat dan sudah terverifikasi kebenaran informasi datanya, dimana beberapa komposisi jabatan strategis yang diisi tidak sesuai dengan kompetensinya. Dan yang luar biasanya terdapat 9 pejabat yang tidak mengalami perpindahan dan masih tetap dipertahankan sehingga harus dijelaskan kepada publik secara terbuka apa alasannya. Apakah karena saking hebatnya prestasi yang bersangkutan dalam bekerja atau karena selama ini mereka telah berhasil “menjilat” Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar saja.
Setidaknya ada tiga motivasi umum pejabat politik melakukan politisasi birokrasi :
Pertama adalah patronase, dimana janji politik di isi dan diberikan sebagai penghargaan kepada sekutu politik yang mau membantu dalam kampanye, seperti dalam Pilkada. Sehingga tidak mengherankan apabila kepala daerah terpilih melakukan segregasi politik terhadap lawannya.
Kedua adalah kebijakan berorientasi. Politisi, eksekutif biasanya, bisa mempolitisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam rangka memperoleh kontrol yang lebih besar terhadap kegiatan pembangunan dalam hal ini penguasaan proyek-proyek pemerintahan.
Ketiga adalah timbal balik. Masing-masing pihak saling mempertukarkan sumber daya yang dimiliki berupa kekuasaan, jabatan, materi, tenaga, dukungan dan loyalitas.
Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menjadikan kepala daerah sebagai pejabat politik dan administrasi (birokrasi). Kepala daerah yang memperoleh mandat dan legitimasi birokrasi karena dipilih langsung, memerlukan dukungan dari staf administrasi yang profesional dan loyal, demi mewujudkan program-program yang telah dijanjikannya kepada rakyat pada saat kampanye.
Pegawai dimaksud tentu yang mempunyai kelebihan pola pikir maju dan baik, sikap melayani, berbudaya produktif, serta mampu menjalankan manajemen berbasis kinerja yang berorientasi kepada pelayanan prima terhadap masyarakat berdasarkan visi dan misi dari kepala daerah yang harus dicapai. Gambaran idealnya tentu seperti itu.
Tapi dalam pelaksanaannya, unsur politik dan subjektifitas seringkali malah lebih mendominasi setiap pengisian jabatan struktural ASN dikarenakan adanya faktor penggunaan birokrasi untuk meraih dukungan politik dari masyarakat ataupun kelompok. Hal ini tentu memicu pandangan negatif publik bahwa untuk penempatan seorang ASN dalam jabatan struktural lebih ditentukan adanya faktor like or dislike dan kedekatan personal dengan pejabat politik yang saat ini sedang menjabat.
Adalah tugas dan fungsi dari Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) untuk menyelenggarakan kegiatan mutasi aparatur sipil negara di tingkat daerah yang tentu berdasarkan atas arahan atau instruksi dari kepala daerah dalam hal ini Bupati.
Meskipun dalam proses penempatan jabatan untuk pegawai aparatur sipil negara terdapat Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang bertugas untuk memberikan pertimbangan layak tidaknya seseorang dipromosikan atau dimutasikan, dalam prakteknya yang berperan besar dalam pengambilan keputusan penentuan penempatan jabatan tetaplah Bupati. Ini bisa dilihat meskipun dalam masa 100 hari kerja pemerintahannya Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar mendapatkan kado pahit WDP dari BPK, tidak ada langkah tegas atau keberanian dari yang bersangkutan untuk mencopot pejabat yang terlibat. Atau setidaknya melakukan langkah evaluasi total terhadap kinerja dari Kepala Inspektorat. Ternyata semuanya aman terkendali dan tidak ada yang diberikan sanksi apapun.
Itulah mengapa setiap mutasi ASN di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kuningan mendapat sorotan, hal ini dikarenakan kebijakan dalam melakukan mutasinya tidak transparan, sarat kepentingan politik dan dipaksakan. Sehingga seringkali pada akhirnya pihak dari BKPSDM lah yang selalu dijadikan kambing hitam dan dituding memainkan proses mutasi ASN, padahal faktanya mereka hanya menjalankan perintah Bupati saja. Ironisnya yang akan memakai hasil pencapaian kinerja maksimal dari hasil mutasi adalah Bupati sendiri bukan orang lain.
Politisasi jabatan struktural ASN oleh pejabat politik telah membuat kewenangan Baperjakat menjadi mandul hanya sebatas dukungan akseptabilitas dan meniadakan kapabilitas, terutama pada pegawai yang didudukkan dalam posisi jabatan-jabatan struktural. Sehingga dampaknya dalam pengembangan karir bagi ASN di Pemda Kuningan yang terjadi adalah adanya persaingan yang tidak sehat di dalam tubuh birokrasi dikarenakan disfungsi Baperjakat yang hanya menjadi stempel dari kebijakan politis Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar.
Pengangkatan ASN dalam jabatan struktural seharusnya berjalan secara normatif dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar semua SKPD bisa melakukan percepatan pencapaian visi misi pembangunan yang digariskan oleh kepala daerah dengan profesional. Keadilan dan keterbukaan dalam pengambilan keputusan terhadap mutasi ASN dapat terwujud apabila mekanisme Reward and Punishment ditegakkan. Bukan sebaliknya hanya didasarkan pada hubungan patron-client yang kental antara ASN yang bersangkutan dengan kepada daerah yang menjabat.
Mutasi jabatan struktural yang akan segera dilakukan oleh Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar mengakibatkan berkurangnya derajat profesional birokrasi di Kabupaten Kuningan. Cita-cita terciptanya sumber daya manusia aparatur pemerintahan berkualitas guna mewujudkan birokrasi yang handal, hanya mimpi belaka. Bukannya berhasil membawa Kuningan Melesat seperti jargon yang selama ini dipakai, yang terjadi malah pemerintahan daerah tidak ada perubahan atau Status Quo.
Selama prosesnya tidak didasarkan oleh pertimbangan Sistem Merit dengan memperhatikan kualifikasi, kompetensi dan penilaian kinerja, maka setiap mutasi yang dilakukan oleh Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar selaku kepala daerah dan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) hanya menjadi momok yang menakutkan bagi semua ASN di Kota Kuda.
Sehingga tidak mengherankan apabila berkembang joke di tengah masyarakat bahwa pemerintahan di Kabupaten Kuningan saat ini sebenarnya berjalan Autopilot.
Kuningan, 28 Mei 2025
Uha Juhana
Ketua LSM Frontal